Bedak Tebal Bromo
Tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan alam jika sedang murka, segala makhluk di muka bumi ini tunduk akan hukum alam. Tahun 2010 merupakan tahun terlama masa erupsi Gunung Bromo yang hampir mencapai satu bulan lebih tidak henti-henti nya mengeluarkan isi perutnya meninggalkan berton-ton abu dan pasir ke segala penjuru wilayah yang mengelilinginya yakni : Lumajang, Probolinggo, Malang dan Pasuruan.
Saya masuk ke Bromo lewat Cemoro Lawang dan kondisi desa itu seluruhnya tertutup abu, pohon-pohon bertumbangan tidak kuat menahan terjangan bertumpuk-tumpuk abu vulkanik yang dimuntahkan, luar biasa!.
Setelah lelah berjalan/trekking hampir 4km dan dieksekusi dengan naik ojek, saya menikmati hamparan lautan pasir dengan Bromo dan Batok di tengahnya di kawasan Hotel Cemara Indah yang lumpuh total bak bangunan rusak tertutup abu. Saya bergabung dengan sebagian masyarakat suku tengger yang hanya duduk-duduk terdiam melihat Bromo yang terus menerus mengepulkan abu pekat ke angkasa.
Suara gemuruh yang saya dengar dari hotel semalam tidak terdengar lagi, pijaran api dari kawah yang diceritakan pegawai hotel pun tidak tampak, padahal saya ingin merasakan sensasi getaran itu dalam radius yang cukup dekat. Setelah rasa capek mulai memudar, saya meminta ojek yang saya sewa mengantarkan saya menuju Penanjakan 2 untuk melihat Bromo dan Batok dari ketinggian yang lumayan namun tidak setinggi Penanjakan 1.
Dari Penanjakan 2, Bromo dan Batok terlihat sangat anggun! saya tidak bisa membayangkan jika saat itu saya berada di Penanjakan 1 dan cuaca cerah dan melihat matahari terbit di awal 1 Januari 2011 berlatar belakang Bromo, Batok dan Semeru, arrrgghh...saya benci mengingatnya!. Kembali saya melihat seorang suku tengger lainnya yang juga hanya duduk terdiam memandang Bromo dari kejauhan, entah apa yang sedang dipikirkannya.
Ditengah asyiknya menikmati pemandangan Bromo, saya ditawari naik ke puncak penanjakan 1 untuk melihat Semeru dengan menunggang kuda oleh salah seorang bapak-bapak yang memang rupanya sudah mangkal di situ, namun karena alasan budget, saya menolak tawaran tersebut, lagipula keadaan cuaca saat itu kurang begitu cerah dan berkabut.
Saat makan siang di salah satu warung, saya bertemu dengan serombongan tim SAR dari Surabaya dan mengira kami adalah dari media karena berkeliaran di sekitar Bromo untuk meliput, saya jadi teringat keinginan saya waktu SMA dulu ingin menjadi reporter karena bisa pergi jalan-jalan sambil meliput berita, hehehehehe.
Tadinya saya nekad ingin menuju lautan pasir dan mendekat ke Pura Hindu dan Gunung Batok, karena saya melihat dari kejauhan ada motor yang melintas dan juga ajakan dari ojek yang saya sewa, namun teman saya menyarankan untuk tidak turun mengingat abu vulkanik dan alasan keamanan. Dasar emang saya orangnya ngotot, saya terus menerus turun menyusuri jalanan menuju lautan pasir yang sudah tidak berbentuk lagi karena pohon-pohon di kanan kiri jalan ambruk bertumbangan.
Tiba-tiba saya mencium bau wangi yang menyengat dari balik pepohonan yang tumbang, bau seperti dari dupa-dupa yang ada di Bali, saya penasaran dan mengintipnya. Tiba-tiba dari balik pepohonan muncul se ekor monyet yang rupanya sedang menemani tuannya melakukan ritual. Sambil duduk dipinggir jurang berselimut kain sarung dan merokok, bapak itu memandang Bromo tanpa terganggu dengan kehadiran saya.
Niat mengarungi lautan pasir terpaksa saya batalkan karena batas waktu sewa ojek saya segera berakhir, pun karena saya mulai diselimuti rasa khawatir melihat semakin turun, keadaan semakin sepi dan jalanan tertutup pohon dan sinyal HP saya mati total sehingga jika terjadi sesuatu, akan sangat menyulitkan saya.
Kembali ke hotel dengan tampang yang cemong-cemong tidak karuan, sekujur tubuh berselimut abu namun saya berhasil menuntaskan rasa penasaran saya melihat Bromo yang sedang mengepul, namun sayang tidak dapat merasakan gemuruh maupun melihat pijaran letusan Bromo.
Malamnya saya tertidur seperti biasa dengan gangguan dari para turis China dan Jepang yang memang tidak karuan berisiknya, kali ini bukan NGOROK dan BERANTEM lagi, namun mereka sedang bersiap-siap melihat sunrise di Penanjakan 2. Dalam hati saya mengutuk, saya tidak ikhlas jika pagi ini matahari terbit dengan sukses dan berdoa dalam hati semoga cuaca tidak bagus, hahahahaha.
Jam 6 pagi saya terbangun dan buru-buru membuka jendela, dan jreng...jreng...jreng...cuaca gelap dan masih berkabut, apakah itu pertanda para Jepang dan China gagal melihat sunrise? SEMOGA!!. Saya memang sengaja memutuskan tidak jadi melihat sunrise dengan alasan budget yang tidak memungkinkan lagi untuk menyewa jeep seharga IDR200.000 dan cuaca yang sejak kemaren selalu mendung dan turun hujan.
Setelah sarapan, saya di jemput dengan Bison yang sama yang mengantarkan saya menuju Bromo 2 hari yang lalu dan berhasil dipesan kemarin seharga IDR140.000 (harga pasrah dari Mas Rohib daripada hari itu dia tidak dapat setoran karena sejak Bromo meletus, wisatawan yang mengunjungi Bromo sepi) menuju terminal Banyu Angga, Probolinggo untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dan Jakarta dengan pesawat.
Hal Penting
- Masyarakat suku tengger sangat percaya kepada leluhur yang mendiami kawah Gunung Bromo
- Mayoritas agama yang dipeluk penduduk sekitar adalah Hindu
- Ciri khas suku tengger selalu mengenakan kupluk dan sarung dalam kesehariannya
- Datanglah setelah bulan April atau saat musim kemarau untuk dapat menikmati sunrise tanpa khawatir akan sia-sia telah mengeluarkan uang menyewa jeep
0 comments:
Post a Comment