Trekking dan Suku Tengger


Suatu kebetulan buat saya memilih Yoschi Hotel sebagai tempat menginap selama di Bromo karena pas hari kunjungan semua hotel-hotel di Cemoro Lawang ditutup karena keadaan Bromo yang masih belum berhenti menyemburkan abu vulkanik, namun suatu kesalahan karena ternyata saya harus mengeluarkan ekstra tenaga untuk mencapai Bromo yang berjarak kurang lebih 7km dari hotel terlebih tidak adanya angkutan umum yang beroperasi seperti hari biasanya. 

Kesalahan karena sejatinya yang saya inginkan adalah saya masih bisa menikmati Bromo meskipun sedang batuk begitu saya keluar dari hotel dan ataupun jika saya harus berjalan, itu masih dalam jarak yang manusiawi untuk ukuran saya (3-4km).

Terlepas dari salah atau tidak, fakta waktu itu memang serba salah dan tidak memungkinkan untuk mencapai suatu kondisi yang ideal. Bromo dan Cemoro Lawang di tutup, Angkutan umum hampir tidak ada, tour melihat sunrise hanya sampai ke Penanjakan 2 dan kondisi alam yang kurang bersahabat yang terkadang turun hujan dengan tiba-tiba. Saya adalah traveler bukan tourist yang dengan mengeluarkan sejumlah uang tinggal duduk manis menuju suatu tempat, saya merencanakan sendiri segala sesuatunya dari A-Z termasuk juga menghadapi keadaan extraordinary sekalipun.

Pagi itu, seharusnya saya menuju air terjun Madakaripura (masyarakat setempat menyebutnya MADA, entahlah mengapa menyebutnya demikian, mungkin karena di sanalah konon patih Gajah Mada pernah bersemedi), namun karena utamanya kendala angkutan umum menuju kesana yang tidak ada serta saya tidak mungkin sewa kendaraan lagi mengingat saat itu pun budget sudah melebihi tergerus sewa bison menuju Bromo, dengan terpaksa saya coret Madakaripura. Selain itu dengan kondisi hujan yang sering turun dan abu bromo yang telah kemana-mana, saya khawatir Madakaripura pun ditutup untuk umum.

Berbekal tekad untuk tetap melihat Bromo dengan keadaan meletus, saya menyemangati diri sendiri "kapan lagi melihat Bromo dalam keadaan mengepulkan asap", saya bisa kembali lagi tahun depan dan melihat Bromo dalam keadaan yang sudah cantik lagi, tapi saya belum tentu melihat Bromo dalam keadaan seperti sekarang ini, karena Bromo tidak meletus setiap tahun. Itu adalah semangat dan pemikiran edan sebetulnya, tapi ya itulah yang terjadi, lagipula letusan Bromo tidak seberbahaya letusan Merapi dengan awan panasnya, apalagi malamnya saya mengobrol dengan petugas hotel bahwa terkadang saat bergemuruh Bromo mengeluarkan pijaran api, waaaaaaaaaaaaah, saya makin semangat! pasti sangat luar biasa itu.

Sambil menunggu angkutan umum yang lewat, saya berjalan menyusuri jalanan yang tertutup abu tebal dan akan berterbangan saat dihembuskan angin kencang serta apabila terdapat mobil yang lewat. Setelah melewati 1,5km pertama, tidak ada kendaraan umum satupun yang lewat, yang ada hanyalah mobil-mobil dari berbagai media serta jeep-jeep dan truk yang melintas. Saat ada truk yang melintas untuk kesekian kalinya, saya stop untuk minta tumpangan dan jreng...jreng...jreng, diizinkan! bahkan saya dipersilahkan duduk di depan, padahal saya sudah bersiap menaiki bak belakang truk tersebut (truk ini kemudian berhenti di Java Banana Hotel yang kebetulan saat itu sedang dalam proses pengembangan).

Hanya sejauh 1km saya menumpang truk tersebut namun lumayan menghemat energi untuk 5km lagi perjalanan/trekking menuju Bromo. Saat tiba dipersimpangan jalan, saya melihat satu jalan yang menurun tajam dan kemudian membelok di ujung tikungan dan kemudian naik lagi...Astagfirullaaaahhhh!!, ini gila!!!. Saya hanya melihat jalan tersebut antara ragu dan bimbang dan teman saya hanya bengong tanpa ekspresi. Saya belum pernah naik gunung ataupun trekking dengan medan lumayan berat sebelumnya, namun demi Bromo, saya akan lanjutkan!.

Baru saja ambil langkah, seorang suku tengger yang sedang membersihkan rumahnya dari abu menyarankan saya untuk mengambil jalan satunya karena medannya tidak terlalu berkelok-kelok. Di tengah perjalanan trekking nekad yang kondisi jalannya tidak kalah nikmat, turun naik dan sepi namun bagus beraspal, saya bertemu ibu-ibu suku tengger yang hendak ke ladang, dengan nafas tersengal-sengal, ibu itu menjawab sapaan saya. Tadinya saya hendak mengobrol dan bertanya berapa jauh lagi Cemoro Lawang, namun ibu itu tidak fasih berbahasa indonesia, alhasil dia hanya bilang, jauh!!.

Terlanjur capek, saya putuskan untuk terus jalan dan kali ini tambah satu anggota, ibu suku tengger yang bahasa nya tidak saya mengerti sama sekali. Alhasil disepanjang perjalanan saya hanya ngangguk-ngangguk mendengarkan omongan si ibu namun anehnya saya ikutan tertawa ketika ibu itu menertawakan saya akibat saya berkali-kali bilang, saya tidak mengerti apa yang ibu katakan.

Saat ibu itu berhenti di sebuah rumah, saya bertemu seorang anak muda dan kesempatan saya untuk bertanya seberapa jauh lagi Cemoro Lawang, namun apa yang terjadi??? Anak muda suku tengger itu malah menawarkan motornya sebagai ojek. Tuing...tuing...tuing, akhirnya saya dan teman-teman menyerah di 2-3km terakhir.

Setelah sampai di depan Hotel Cemara Indah, saya hanya bisa terdiam dan tertegun mendapatkan kenyataan Gunung Bromo, Gunung Batok dan hamparan lautan pasir terbentang dihadapan saya. Akhirnya mata ini melihat sendiri Bromo yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Tetap indah dan terkesan mistis meski tidak seindah aslinya karena bromo sedang sendawa mengeluar abu pekat membumbung ke angkasa.


Hal Penting :
- Buat yang biasa naik gunung, tidak ada salahnya mencoba jalur trekking nikmat tidak biasa lainnya melalui probolinggo, percayalah cukup menyenangkan dan aneh memang!
- Sepanjang perjalanan pemandangan sungguh menakjubkan dengan pegunungan dan tebing2 curam
- Hati-hati saat di tanjakan dan ada motor yang lewat, menepilah dengan cepat karena motor tersebut melaju sangat cepat dan teman saya hampir terserempat.
- Berani mencoba ide gila trekking ini?, cobalah dan dijamin Anda akan diliatin penduduk suku tengger setempat selama perjalanan, apalagi dengan dandanan ala kami demi menghindari debu berkacamata hitam, masker, syal, jaket dan sarung tangan menyisakan mata macam terrorist.
- Maaf, photo-photonya kurang dramatis dan tidak bagus, karena tidak bisa motret!

0 comments:

Post a Comment